Dalam sistem pemerintahan daerah, sinergi antara eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD) adalah kunci utama keberhasilan pembangunan. Namun bagaimana jadinya jika hubungan keduanya justru tidak harmonis? Siapa yang sebenarnya paling dirugikan?
Kondisi di mana sebagian anggota DPRD tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah daerah bukanlah hal baru dalam dinamika politik lokal. Ketidaksepahaman bisa muncul dari perbedaan sudut pandang, kepentingan politik, atau bahkan sekadar ego kelembagaan. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, perbedaan ini bisa berkembang menjadi konflik terbuka yang menghambat jalannya program-program pembangunan.
Dampaknya sangat nyata. Proses pembahasan anggaran bisa terhambat, pengesahan peraturan daerah tertunda, dan yang paling merasakan adalah masyarakat. Program bantuan sosial bisa molor, proyek infrastruktur bisa mandek, hingga investor yang tadinya tertarik bisa batal karena melihat ketidakstabilan politik di daerah.
Padahal, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan bahkan sehat dalam demokrasi. Tapi yang menjadi persoalan adalah ketika perbedaan itu tidak lagi disikapi dengan semangat membangun, melainkan digunakan untuk menjatuhkan atau memperlambat kinerja pihak lain. Di titik inilah, fungsi kontrol yang ideal berubah menjadi alat tekanan.
Yang perlu diingat oleh semua pihak adalah: jabatan publik adalah amanah rakyat. Ketika DPRD dan pemerintah daerah tidak mampu menyatukan langkah untuk kepentingan bersama, maka rakyatlah yang menjadi korban utama.
Sudah saatnya seluruh unsur pemerintahan daerah, baik legislatif maupun eksekutif, kembali duduk bersama, menurunkan ego politik masing-masing, dan menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Tidak harus selalu sepakat dalam segala hal, tetapi sepakat untuk terus bergerak demi kemajuan daerah.
Pemerintah yang terbuka terhadap kritik dan DPRD yang membangun, bukan menjatuhkan, adalah kombinasi terbaik untuk membawa Kabupaten Soppeng (dan daerah mana pun) ke arah yang lebih baik.
Penulis: Ariyanto